Kecantikan dan keanggunan perempuan akan terpancar dengan sifat malu yang dimiliki.
Sifat
malu bagi perempuan adalah perhiasan, kehormatan, sekaligus jati diri
yang utama. Karena, pada hakikatnya para kaum Hawa memiliki peran
strategis dan krusial di tengah-tengah peradaban.
Luhur tidaknya
sebuah komunitas masyarakat dan bangsa turut ditentukan oleh sejauh
mana tingkat kesalehan para wanitanya. Dan, sejarah Islam membuktikan,
kegemilangan peradaban Islam ditopang oleh akhlak dan kemuliaan para
perempuan.
Demikian, ujar Syekh Muhammad bin Musa as-Syarif, dalam karyanya yang berjudul
Haya’ al-Mar’ah Ushamh wa Unutsah wa Zinah. Serangan
bertubi-tubi dunia luar, pada intinya mencoba untuk merobohkan sedikit
demi sedikit kemuliaan perempuan, termasuk memudarkan sifat malu, lewat
gaya hidup, efek negatif dari keterbukaan informasi, hingga melibatkan
propaganda budaya.
Padahal, bandingkan para perempuan di era
awal, terkenal teguh menerapkan sifat malu. Lihatlah sikap yang
ditunjukkan oleh putri dari Abu Bakar, yaitu Asma’.
Suatu
ketika, ia pernah menghindar lantaran malu bertemu segerombol sahabat
dari kalangan Anshar. Rasulullah SAW pun menyarankannya agar mengambil
arah lain.
Maka, hiasilah diri dengan malu. Sebab malu, kata seorang tokoh salaf, Abu Hatim al-Busti, berarti
menjauhkan diri dari segala perilaku yang tak disukai. Selain itu, mengutip Ensiklopedi Fikih Kuwait (
al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah), sifat malu itu terbagi menjadi dua.
Malunya
seorang hamba kepada Allah SWT bila melanggar larangan-Nya dan malu
melakukan segala perkara yang tak disukai, baik perkataan atau
perbuatan.
Lantas, apa urgensi sifat malu bagi perempuan? Syekh as-Syarif mengatakan malu adalah
bukti kecintaan tarhadap Allah SWT dan para rasul-Nya. Dan
dengan malu agama seorang Muslimah akan tetap terpelihara. Malu
membentengi dirinya dari tindakan yang tercela. Dan, sebab
malu itu pula, kehormatan dan keanggunan perempuan terjaga.Perempuan yang berhias dengan
sifat malu akan terjaga sikap femininnya yang sejati. Jauh bedanya dengan wanita yang
tomboi atau kasar, misalnya bahkan perempuan yang bersolek terlewat batas sekali pun.
Kecantikan dan keanggunan perempuan akan terpancar dengan sifat malu yang dimiliki.
Sifat malu juga mempertegas identitas dan jati diri seorang perempuan. Ia akan mampu menempatkan diri secara proporsional.
Seperti diriwayatkan oleh Bukhari dari Busyair bin Ka’ab, Rasulullah SAW pernah bersabda, “
Telah
tertulis dalam takdir, sesungguhnya terdapat kemuliaan dalam sebagian
sifat malu dan kedewasaan di bagian lainnya. Dan, bagi seorang istri
sifat malu akan menambah kecintaan kepada suami.”Syekh
as-Syarif mengakui memperteguh sifat malu bukan perkara gampang. Potret
ketidakmampuan perempuan menguatkan sifat tersebut, seperti tergambar
dalam beragam fenomena yang muncul di masyarakat.
Tak heran
didapati perempuan yang berperangai kasar, gaya berbicaranya tak patut,
mengumbar konflik internal keluarga ke orang lain, berbusana tak etis
dan cenderung menampakkan aurat, serta sering kali didapati
sebagian oknum Muslimah merokok tanpa rasa malu.Syekh
as-Syarif tak terhenti pada kritikan, ia pun mengutarakan sederet
solusi untuk menanamkan rasa malu bagi perempuan sejak dini. Yang paling
mendasar adalah menanamkan keimanan dalam pribadi anak-anak perempuan.
Keimanan ini melebihi segalanya. Dengan iman tersebut, seorang hamba
akan tergiring untuk malu. Ketika turun perintah berjilbab dalam
surah an-Nuur, segenap sahabat perempuan bergegas menuju kamar dan menutup aurat mereka.
Hanya keimanan yang mendorong hal itu terjadi.
Selanjutnya,
menciptakan pendidikan yang kondusif, paling tidak di level mendasar
dan utama, yakni institusi keluarga. Para orang tua berkewajiban
memberikan pemahaman yang memadai perihal pentingnya rasa malu bagi anak
perempuan mereka.
Dan, jangan lupa memberikan suri teladan yang
baik. Keteladanan memancing simpati dan ketertarikan. Berapa banyak
pendidikan gagal lantaran nihil keteladanan. Ingin anak-anak perempuan
Anda malu, maka
mulakan dan biasakan rasa malu dari diri Anda.